Ada perasaan yang merayap dalam jiwaku saat shalat, bahwa
kenikmatan kebersamaan dengan Allah swt adalah seharusnya lebih penting dari
pada doa-doa yang akan dipanjatkan. Kebersamaan yang hening, tenang dan damai
yang tak dapat ditemukan dan tergantikan oleh yang lain. Saat…dimana jarak itu
sangat dekat…saat dimana tiada lagi kekhawatiran.
Bahwa syariat dan nilai Islam itu harus disadari memiliki
nilai yang lebih tinggi daripada kepentingan pribadi, eksistensinya lebih
penting bahkan lebih penting daripada kehidupan itu sendiri. Jadi, kehidupan
kita akan dinilai bermakna dan berarti bila kita berada di “alur” mengalirnya nilai
Islam, mendukung, ikut menumbuh kembangkan, membela dengan menolak yang
bertentangan dengannya, mencintai dengan membenci yang diharamkannya dan
menunjukkan buktinya dengan sikap yang nyata, ikut menyebarkan, mengatur
perubahan-perubahan diri dalam harmoni yang tertata yang dimulai dari “shalat”
dengan menegakkannya dengan benar dalam hubungan yang khusyu yang terbina dan
dipelihara.
Artinya, setiap kesedihan, penderitaan, air mata yang
disebabkan oleh urusan pribadi menjadi bernilai kecil daripada kesedihan akibat
menjauhnya masyarakat dengan pergi meninggalkan nilai-nilainya secara perlahan-lahan.
Dan seharusnya kesedihan-kesedihan pribadi itu seiring perjalanan keimanan yang
terus tumbuh dan berkembang dalam jiwa menjadikan semua itu bukan menjadi
masalah lagi yang menjadi rintangan.
Memang berat, karena air mata yang sesungguhnya ada pada
kesedihan ketika melihat pengabaian nilai langit (agama) menjadi sesuatu yang
tidak dihiraukan. Kesedihan pada anak adalah ketika melihatnya tidak shalat
daripada kesedihan karena tidak mampu membelikannya septau baru atau
keinginan-keinginan lainnya.
Kesedihan terhadap orang tua adalah ketika melihat orang tua
belum bisa membaca Al Quran daripada kesedihan karena tidak mampu membelikan
materi atau belum bisa membalas jasa. Atau sebaliknya hanya memberi orang tua
materi dan kesenangan tapi membiarkan orangtua dalam kondisi belum mengenal
Islam.
Begitu juga kesedihan terhadap suami adalah ketika ia belum
mampu menjadi pemimpin seperti yang Allah dan Rosul kehendaki daripada
kesedihan karena ia belum mampu member materi kehidupan yang berkecukupan.
Dan kesedihan terhadap istri ketika melihatnya menghabiskan
waktu dan uang untuk berdandan dan bersenang-senang melupakan aturan agama
daripada kesedihan karena tidak menyenangkan dirinya semata.
Kesedihan-kesedihan atas pengingkaran dan perlawanan dari
ketundukkan pada hukum Ilahi lebih memberatkan hatinya daripada kesedihan
kepentingan batin pribadi
Semoga kita semua diberi keteguhan untuk dapat meletakkan
sesuatu pada tempatnya, memberi cinta dan perhatian sebagaimana yang
seharusnya,amin ya rabbal alamiin…
No comments:
Post a Comment