Sunday 27 January 2013

Meletakkan sesuatu pada tempatnya



Ada perasaan yang merayap dalam jiwaku saat shalat, bahwa kenikmatan kebersamaan dengan Allah swt adalah seharusnya lebih penting dari pada doa-doa yang akan dipanjatkan. Kebersamaan yang hening, tenang dan damai yang tak dapat ditemukan dan tergantikan oleh yang lain. Saat…dimana jarak itu sangat dekat…saat dimana tiada lagi kekhawatiran.

Bahwa syariat dan nilai Islam itu harus disadari memiliki nilai yang lebih tinggi daripada kepentingan pribadi, eksistensinya lebih penting bahkan lebih penting daripada kehidupan itu sendiri. Jadi, kehidupan kita akan dinilai bermakna dan berarti bila kita berada di “alur” mengalirnya nilai Islam, mendukung, ikut menumbuh kembangkan, membela dengan menolak yang bertentangan dengannya, mencintai dengan membenci yang diharamkannya dan menunjukkan buktinya dengan sikap yang nyata, ikut menyebarkan, mengatur perubahan-perubahan diri dalam harmoni yang tertata yang dimulai dari “shalat” dengan menegakkannya dengan benar dalam hubungan yang khusyu yang terbina dan dipelihara.

Artinya, setiap kesedihan, penderitaan, air mata yang disebabkan oleh urusan pribadi menjadi bernilai kecil daripada kesedihan akibat menjauhnya masyarakat dengan pergi meninggalkan nilai-nilainya secara perlahan-lahan. Dan seharusnya kesedihan-kesedihan pribadi itu seiring perjalanan keimanan yang terus tumbuh dan berkembang dalam jiwa menjadikan semua itu bukan menjadi masalah lagi yang menjadi rintangan.
Memang berat, karena air mata yang sesungguhnya ada pada kesedihan ketika melihat pengabaian nilai langit (agama) menjadi sesuatu yang tidak dihiraukan. Kesedihan pada anak adalah ketika melihatnya tidak shalat daripada kesedihan karena tidak mampu membelikannya septau baru atau keinginan-keinginan lainnya.

Kesedihan terhadap orang tua adalah ketika melihat orang tua belum bisa membaca Al Quran daripada kesedihan karena tidak mampu membelikan materi atau belum bisa membalas jasa. Atau sebaliknya hanya memberi orang tua materi dan kesenangan tapi membiarkan orangtua dalam kondisi belum mengenal Islam.
Begitu juga kesedihan terhadap suami adalah ketika ia belum mampu menjadi pemimpin seperti yang Allah dan Rosul kehendaki daripada kesedihan karena ia belum mampu member materi kehidupan yang berkecukupan.

Dan kesedihan terhadap istri ketika melihatnya menghabiskan waktu dan uang untuk berdandan dan bersenang-senang melupakan aturan agama daripada kesedihan karena tidak menyenangkan dirinya semata.
Kesedihan-kesedihan atas pengingkaran dan perlawanan dari ketundukkan pada hukum Ilahi lebih memberatkan hatinya daripada kesedihan kepentingan batin pribadi

Semoga kita semua diberi keteguhan untuk dapat meletakkan sesuatu pada tempatnya, memberi cinta dan perhatian sebagaimana yang seharusnya,amin ya rabbal alamiin…



No comments:

Post a Comment